JAKARTA (RIAUPOS.CO) -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah selesai memeriksa mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo yang telah menyandang status sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap penetapan izin benih lobster atau benur. Mantan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra itu diperiksa dalam kapasitasnya sebagai saksi untuk melengkapi berkas penyidikan Chairman PT Dua Putra Perkasa (DPP) Suharjito yang merupakan tersangka pemberi suap.
Usai menjalani pemeriksaan, Edhy mengaku dikonfirmasi penyidik lembaga antirasuah soal barang mewah yang dibeli bersama istrinya, Iis Rosita Dewi dalam kunjungan kerja ke Hawai, Amerika Serikat. "Saya dikonfrontasi dengan bukti-bukti. Sudah saya akui semuanya. Barang-barang yang saya belanjakan di Amerika itu. Baju, apa, semuanya," kata Edhy usai menjalani pemeriksaan di Gedung Merah Putih KPK, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Kamis (3/12).
Edhy mengklaim delapan unit sepeda yang telah disita penyidik saat menggeledah rumah dinasnya di kompleks menteri, Widya Chandra pada Selasa (1/12) tidak terkait dengan kasus suap yang menjeratnya. Edhy mengaku tak mengetahui alasan penyidik menyita delapan unit sepeda tersebut.
"Sepeda yang di rumah (dinas) saya itu yang disita penyidik. Tidak ada hubungannya," klaim Edhy.
Politikus Partai Gerindra ini memastikan, bakal mengikuti proses hukum yang berjalan di KPK. "Ya, saya diperiksa. Saya ikuti. Mohon doanya saja," ungkap Edhy.
Dalam konstruksi perkara dugaan suap penetapan ekspor benih lobster yang menjerat Edhy Prabowo, sekitar Rp750 juta dibelanjakan barang-barang mewah oleh Edhy Prabowo dan istrinya, Iis Rosita Dewi saat perjalanannya ke Honolulu, Amerika Serikat pada 21-23 November 2020. Sejumlah barang mewah yang dibeli di antaranya jam tangan rolex, tas koper Tumi, Louis Vuitton, jam Jacob n Co dan tas Koper LV.
Sebelumnya, KPK menetapkan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo sebagai tersangka terkait perizinan tambak usaha atau pngelolaan perikanan komoditas perairan sejenis lainnya tahun 2020. Selain Edhy, KPK juga menetapkan enam tersangka lainnya yang juga terseret dalam kasus ekspor benih lobster atau benur.
Mereka yang ditetapkan tersangka penerima suap yakni Safri (SAF) selaku Stafsus Menteri KKP; Andreau Pribadi Misanta (APM) selaku Stafsus Menteri KKP; Siswadi (SWD) selaku Pengurus PT Aero Citra Kargo (ACK); Ainul Faqih (AF) selaku Staf istri Menteri KKP; dan Amiril Mukminin selaku swasta. Sementara diduga sebagai pihak pemberi, KPK menetapkan Suharjito (SJT) selaku Direktur PT Dua Putra Perkasa Pratama (DPPP).
KPK menduga, Edhy Prabowo menerima suap dengan total Rp10,2 miliar dan 100.000 dolar AS dari Suharjito. Suap tersebut diberikan agar Edhy selaku Menteri Kalautan dan Perikanan memberikan izin kepada PT Dua Putra Perkasa Pratama untuk menerima izin sebagai eksportir benih lobster atau benur.
Keenam tersangka penerima suap disangkakan melanggar Pasal 12 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
Sedangkan tersangka pemberi disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.(jpg)